Sumpingdi Kampung Adat Cireundeu" yang disertai dengan aksara Kaganga (atau disebut aksara Sunda). Tulisan tersebut dalam bahasa Indonesia mengandung arti 'selamat datang di Kampung adat Cireundeu'. Kenyataan ini menandakan pengakuan bahasa Sunda sebagai
Lokasi Kampung Adat CireundeuPetaKeunikan Kampung Adat Cireundeu1. Sejarah Cireundeu2. Kepercayaan3. Rasi sebagai Makanan Utama4. Puncak Salam5. Pintu Samping Rumah Menghadap Timur6. Semangat Gotong Royong dan Hidup Berdampingan7. Hutan di Cireundeu8. KesenianRecommended! Kampung Adat Cireundeu, menjadi salah satu destinasi wisata Kota Cimahi yang unik dan menarik. Foto Dede Diaz Abdurahman/GenPI Jabar Kampung Adat Cireundeu – Indonesia memiliki beragam kampung adat yang tersebar di setiap wilayahnya. Setiap daerah memiliki keunikan kampung adatnya. Termasuk kampung yang ada di Kota Cimahi Jawa Barat ini. Kampung Adat Cireundeu adalah sebuah kampung dengan luas 64 hektar. Terbagi 2 bagian; 60 hektar digunakan untuk pertanian dan 4 hektarnya untuk pemukiman. Warga di kampung ini konsisten dalam meyakini dan menjalankan ajaran kepercayaan turun temurun. Mereka melestraikan budaya nenek moyang mereka. Kampung adat sendiri bisa diartikan sebagai suatu wilayah di dalam kumpulan masyarakat adat yang mempunyai hak asal usul berupa hak mengurus wilayah dan mengurus kehidupan masyarakat hukum adatnya. Baca juga* Kasepuhan Ciptagelar, Pesona Pelosok Sukabumi Foto Dede Diaz Abdurahman/GenPI Jabar Kampung adat ini terletak di sebuah lembah yang diapit Gunung Kunci, Gunung Cimenteng, dan Gunung Gajahlangu. Secara administratif Cireundeu masuk wilayah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat. Peta Keunikan Kampung Adat Cireundeu Lalu apa saja keunikan dan daya tarik kampung adat Cirendeu ini? Simak terus ya sampai selesai 🙂 1. Sejarah Cireundeu Asal kata Cireundeu berasal dari sebuah pohon bernama Rendeu’. Sudah bisa kamu tebak, di kampung ini terdapat banyak Pohon Rendeu. Adapun kegunaan atau khasiat dari Pohon Rendeu adalah bisa digunakan sebagai bahan obat herbal. Masyarakat setempat sering menggunakannya saat memerlukan. Sebelum dikenal sebagai kampung adat, Cireundeu dulunya adalah tempat pembuangan sampah warga Kota Cimahi. Baru di tahun 2007 Cireundeu mulai dikenal sebagai sebuah wilayah desa tradisional. Kampung Adat Cireundeu dikelola oleh pemerintahan lokal, RT dan RW. Yang merupakan tingkatan tertinggi di wilayah Cireundeu. Sedangkan secara tradisional Cireundeu memiliki orang yang dituakan’, disebut dengan Sesepuh. Kini Sesepuh Cireundeu sudah mencapai generasi ke-5. Kampung Adat ini memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman. Bisa baca informasi lengkapnya di 2. Kepercayaan Salah satu prosesi upacara adat saat perayaan Syuraan Tahun Baru Saka 1 Sura. di Kampung Adat Cireundeu. Foto IG Masyarakat adat Kampung Cireundeu adalah bagian dari Sunda Wiwitan yang tersebar di daerah Cigugur-Kuningan-Cirebon. Kesemua mereka sebagian besar memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan sampai sekarang. Agama leluhur yang mereka anggap sebagai sebuah agama besar. Dengan ajaran-arajan peduli terhadap alam dan sopan santun. Masyarakat adat Cireundeu memandang agama sebagai sebuah ageman pegangan. Menjadi tuntunan hidup, keselamatan, yang tidak bisa lepas dari pemaknaan budaya. Artinya ketika seseorang memeluk agama, maka ia sedang menjalankan dan memaknai budaya yang melekat pada agama yang dianut. Konsep agama Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat adat Cireundeu, yaitu Tuhan yang disebut “Gusti Sikang Sakang Sawiji Wiji” atau di atas segalanya pencipta mereka. “Mulih Kajati Mulang Ka Asal”,setiap manusia akan kembali kepada Tuhan. 3. Rasi sebagai Makanan Utama Rasi, beras singkong, makanan khas di Kampung Cireundeu. Foto si_angeline Sejak tahun 1918, sebagian masyarakat Cireundeu tidak pernah mengonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. Melainkan makanan utama yang dikonsumsi adalah singkong. Masyarakat setempat menyebutnya rasi’. Sebenarnya rasi hampir sama dengan nasi biasa, hanya saja terbuat dari singkong. Jika kehabisan singkong makanan penggantinya adalah jagung. Cireundeu sendiri dikenal sebagai desa swasembada pangan. Masyarakat setempat akan mengonsumsi apa yang mereka tanam. Rasi hasil singkong yang diolah, sudah dikonsumsi masyarakat Kampung Adat Cireundeu sejak sekitar 85 tahun lalu. Bisa dibilang masyarakatnya sudah mandiri pangan. Sehingga mereka tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga beras di pasaran. Dan kehidupan di kampung ini juga bisa dibilang tak terpengaruh gejolak ekonomi-sosial. “Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat.” “Tidak Punya Sawah Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat.” Kalimat tersebut seolah merangkum sejarah bagaimana masyarakat memakan rasi. Sesuai juga dengan tradisi nenek moyang mereka yang rutin berpuasa konsumsi beras dalam waktu tertentu. Tujuan puasa adalah untuk mendapatkan kemerdekaan lahir dan batin. Sebuah ritual yang juga berfungsi untuk menguji keimanan seseorang. Serta sebagai pengingat akan Tuhan Yang Maha Esa. 4. Puncak Salam Puncak salam merupakan tempat meditasi bagi masyarakat Cireundeu. Kegiatan meditasi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap alam. Masyarakat setempat percaya bahwa meditasi dapat mengumpulkan energi dari alam. Sebuah bukit dengan ketinggian 905 mdpl ini sering digunakan sebagai camping around oleh wisatawan. Biasanya masyarakat Cireundeu juga menjadikan Puncak Salam sebagai tempat upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia. 5. Pintu Samping Rumah Menghadap Timur Ada satu keunikan bangunan yang bisa kamu lihat di seluruh penjuru kampung. Rumah mereka memiliki pintu samping yang menghadap ke arah timur. Sebuah keharusan yang harus diterapkan oleh seluruh warga. Bertujuan agar cahaya matahari masuk ke rumah, ke bumi mereka. 6. Semangat Gotong Royong dan Hidup Berdampingan Menyambut tamu yang datang. Foto Dede Diaz Abdurahman/GenPI Jabar Masyarakat kampung ini terdiri dari mayoritas pemeluk agama Islam. Berbaur dengan masyarakat adat, semuanya memiliki semangat bergotongroyong. Banyak pihak yang sudah mengunjungi kampung adat ini. Mulai dari yang berutujan wisata, penelitian, acara adat, dan acara-acara lain. Masyarakat adatnya tersebar di 3 RT. Ada 67 keluarga dengan 59 kepala keluarga. Di kampung ini kamu bisa melihat ada masjid dan bale sarasehan. Bale ini adalah tempat pertemuan masyarakat adat. Begitu mengagumkan bukan masyarakatnya bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Semangat gotong royong tercermin dalam berbagai kegiatan kampung. 7. Hutan di Cireundeu Hutan di Cireundeu dikenal sebagai hutan penyumbang oksigen terbesar di Kota Cimahi. Di sini hutan disebut juga dengan leweung. Cireundeu memiliki tiga leweung yang berbeda, yaitu Leweung Baladahan, Leweung Tutupan, dan Leweung Larangan. Leweung Baladahan adalah hutan yang menghasilkan sumber pangan seperti singkong, kacang-kacangan, dan lain-lain. Leweung Tutupan terdiri dari berbagai tanaman herbal yang ditanam. Terdiri dari rendeu, toga, babadotan, dan mahoni. Sedangkan Leweung Larangan adalah hutan yang tidak boleh dikunjungi oleh wisatawan. Hal ini karena hutan ini sangat dijaga dan dilindungi nilai sakralnya oleh masyarakat Cireundeu. 8. Kesenian Kalau kamu berkunjung bertepatan dengan upacara adat, kamu bisa menyaksikan beberapa kesenian khas. Seperti kesenian gondang, karinding, serta angklung buncis. Baca juga* Pesona Desa Wisata Malasari di Nanggung Kabupaten Bogor Recommended! Tidak mengherankan kalau kampung adat yang ada di Kota Cimahi ini menjadi destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Kita bisa berkunjung bersama keluarga atau kawan jalan. Menyaksikan dan belajar langsung mengenai ragam kearifan lokal yang masih dijalankan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kampung. Ada rencana berkunjung ke Kampung Adat Cireundeu di Kota Cimahi Jawa Barat? Artikel Kampung Adat Cireundeu ini ditulis oleh Amelia Dwinda Gusanti, Universitas Telkom, Peserta Magang Genpinas TopPDF POLA KOMUNIKASI KELUARGA MASYARAKAT ADAT DALAM MENANAMKAN NILAI KEARIFAN LOKAL : Studi Kasus pada Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Kota Cimahi dikompilasi oleh 123dok.com. Upload Bahasa Sunda yang menjadi bahasa daerah Jawa Barat kini sudah jarang dipakai, padahal penutur bahasa Sunda berkisar 27 juta orang. PEDARAN TRADISI RITUAL KAMPUNG CIREUNDEU BASA SUNDAAssalamualaikum wr wbTerimakasih sudah berkunjung ke halaman blog datang di Perkenalkan blog ini berisi materi-materi pelajaran bahasa Sunda yang dikemas dalam media audio-visual untuk memberikan kesan belajar yang menyenangkan, mudah dipahami, dan memberikan banyak informasi baru kepada hanya blog saja, pun memiliki youtube channel, yang berisi video-video edukasi mengenai pembelajaran bahasa Sunda. Kalian bisa kunjungi youtube channel dengan klik link di bawah ada pertanyaan seputar PEDARAN TRADISI RITUAL KAMPUNG CIREUNDEU BASA SUNDA yang kurang dipahami, kalian bisa memberikan komentar, silahkan jangan ragu untuk mengisi kolom komentar di dengan adanya blog ini bisa memberikan manfaat bagi kalian belajar PEDARAN TRADISI RITUAL KAMPUNG CIREUNDEU BASA SUNDA. Kampung nu mayoritas masarakatna masih kénéh ngagem kapercayaan Sunda Wiwitan téh, dikokolakeun ku tilu sesepuh kampung, nyaéta Sesepuh nu nangtukeun kawijakan hirup kumbuh tur ngokolakeun ritual taunan dicepeng ku Emen Sunarya 75, Ais Pangampih nu ngokolakeun kamasarakatan dicepeng ku Widia 50, jeung Panitén nu ngokolakeun kapamudaan jeung tani sampeu dicepeng ku Asep Wardiman 45. Lega lahanna kurang leuwih 100 héktar, kabagi kana opat bagian, nyaéta 10 héktar lahan padumukan, 25 héktar leuweung baladahan lahan tani sampeu, sarta 65 héktar kabagi kana leuweung tutupan jeung larangan. Kagiatan ritual taunan nu panginsidéntalna di Cireundeu nyaéta Sérén Taun Ngemban Taun Saka’ unggal tanggal 1 Sura, nu sok disebut Suraan. Tempatna di Balé Saréséhan—legana 6×6 m lengkep jeung panggung pintonan kasenian nu legana 6×4 m—, pernahna di tengahtengah kampung. Tujuanna lian ti nutup jeung mapag taun anyar Saka, ogé salametan tina hasil tani jeung ingoningon, ngaharib-harib Sérén Taun di Kuningan. Lian ti éta, Balé Saréséhan gé gedé pisan fungsina pikeun para nonoman di dinya, pikeun dijadikeun tempat diajar aksara Sunda Kuna jeung rupaning kasenian Sunda celempungan, gondang, karindingan, angklung buncis, mamaos, jeung degung. Jenis sampeu nu dipelak tur dikonsumsi di Cireundeu nyaéta sampeu pait/karikil, nu ku masarakat séjén mah sok dipaké parab ingoningon. Lantaran lian ti rasana pait, ogé matak weureu. Nurutkeun Asep Wardiman, mémang sampeu pait goréng lamun langsung dikonsumsi, tapi lamun diolah kalawan apik tur beresih, sampeu pait lian ti gedé kandungan karbohidratna unggal 100 gr sampeu ngandung énérgi 359 kkal, 86,5 gr karbohidrat, 1,4 gr protéin, ogé gedé pisan kandungan acina. Tina 25 héktar nu dipaké lahan tani sampeu, Cireundeu ngahasilkeun 20 ton/héktar dina sakali panén. Sangkan kualitas sampeuna hadé, sampeu dipanén dina umur 10 bulan jeung jangkungna 2,5 m. Kitu ogé dina miarana, ti mimiti melak sték kudu bener-bener. Pangpangna nalika sampeu umur 2-4 bulan sok kaserang hama bulé hama daun jeung buruk beuti. Tani sampeuna kabagi kana 10 kelompok, nu unggal kelompokna boga mesin pamarudan sampeu pikeun dijadikeun aci. Teu di kampung teu di kota, sampeu diolah jadi rupaning kadaharan nu ruparupa ngaranna jeung ruparupa cara ngolahna. Kitu ogé di Cireundeu, sampeu nu dihasilkeunna diolah jadi rupaning kadaharan poko sapopoé, kayaning sangueun/ rasi beras nasi, awug, gegetuk, katimus, comro, misro, jrrd. Sedeng bahan kadaharan jeung kaolahan tina sampeu nu diproduksi pikeun jualeun antarana rasi, aci, rangining, opak, kicimpring, kurupuk, jeung peuyeum. Biasana sok dipasarkeun ka daérah Bandung, Sukabumi, Karawang, jeung Jakarta. Rasi mangrupa kadaharan poko Cireundeu tina hampas hasil ngolah sampeu jadi aci. Sanggeus sampeu dipesék tur diberesihan, laju diparud dina mesin pamarudan. Tah, hampas parudan nu dijadikeun rasi téh. Sedeng hasil parudanna mah dikeueman cai sapeuting dina bak pangeueuman. Laju cai pangeueuman tadi dipiceun, sarta dedekna dipoékeun dina waktu 1-2 poé. Sanggeus garing, jadi aci nu siap dipasarkeun. Tina poténsi nu ditataan tadi, Cireundeu sababaraha kali meunang pangajén ti intansi pamaréntahan, antarana, pangajén Ketahanan Pangan dan Kelompok Tani Spesifi k ti Kementrian Negara Lingkungan Hidup taun 1964 jeung 2007. Pangajén nu sarua ti Dinas Perekonomian dan Koperasi Kota Cimahi, Wali Kota Cimahi, Badan Ketahanan Pangan Departemen Perekonomian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jabar, Gubernur Jabar, jeung Présidén SBY taun 2008 jeung 2009. Atuh pikeun widang kabudayaanna kungsi dilélér pangajén ti Disparbud Jabar taun 2008. Tangtuna, éta hal téh mangrupa tuladan pikeun kampung séjénna dina mekarkeun poténsi tani jeung kabudayaanna, kalawan dirojong ku masarakat jeung pamaréntahanna. Pamaréntah ogé ulah ngan saukur merhatikeun daérah nu geus nyampak poténsina, tapi ngarojong sakabéh daérah nu kurang atawa karék mucunghul poténsina. Komo dina nyanghareupan krisis pangan nu keur mahabuna mah, patani téh meureun moal kari daki. Ulah ngan sesebutan wungkul nagara agraris téh, bari jeung masarakatna loba nu paceklik.Ari Andriansyah tina Majalah Cahara 6, 2012 Pamekar Diajar Basa Sunda Pikeun Murid SMA/SMK/MA/MAK Kelas XI, penerbit Dinas Provinsi Jawa Barat, medal taun 2013, Kaca 84-86 LATIHAN SOAL 1 Kecap-kecap naon waé nu teu dipiharti? Pék catet sarta paluruh hartina dina kamus!2 Naon nu diagem ku mayoritas masarakat Kampung Cireundeu?3 Naon tujuan dilaksanakeun kagiatan ritual Sérén Taun Ngemban Taun Saka’ di Kampung Cireundeu?4 Naon waé kasenian Sunda nu aya di Kampung Cireundeu?5 Dijieun kaolahan naon waé sampeu ku urang Cireundeu?6 Ti saha waé Kampung Cireundeu narima pangajén? Bagaimana??? Penjelasan mengenai materi di atas dapat dipahami dengan baik??? jika masih belum paham, kalian bisa memberikan pertanyaan dengan mengisi komentar di bawah atau bisa juga mengunjungi postingan mengenai PEDARAN TRADISI RITUAL KAMPUNG CIREUNDEU BASA SUNDA lainnya atau langsung cari saja keyword materi yang kalian cari di bawah ini LINK KUMPULAN MATERI PEDARAN TRADISI SUNDA LENGKAP LINK 15+ KUMPULAN CONTOH PEDARAN TRADISI SUNDA LENGKAP LINK 50+ KUMPULAN SOAL PEDARAN TRADISI SUNDA LENGKAP Jika blog ini bisa memberikan banyak manfaat, jangan lupa untuk dukung blog ini dengan cara like, comment, dan share ke teman-teman kalian. Jangan lupa untuk bergabung dalam group belajar bahasa Sunda husus siswa se-Jabar, dengan klik link di bawah iniWHATSAPPTELEGRAMLINEFACEBOOKINSTAGRAMYOUTUBE Mari kita sama-sama bangun blog ini supaya bisa lebih berkembang lagi dan memberikan banyak ilmu yang bermanfaat bagi kalian BUKU SUMBERBUKU RANCAGÉ DIAJAR BASA SUNDABUKU BASA SUNDA URANGBUKU PAMEKAR DIAJAR BASA SUNDABUKU SIMPAY BASA SUNDABUKU GAPURA BASABUKU WIWAHA BASABUKU PRASADA BASAMODUL PANGAJARAN BASA SUNDAMODUL PPG BASA SUNDA GOOGLE TRANSLATE Perhatian! materi ini diterjemahkan oleh mesin penterjemah google translate tanpa adanya post editting, sehingga ketepatan dalam terjemahan masih buruk dan perlu dikembangkan dari fitur terjemahan ini untuk pengunjunga yang kesulitan memahami materi dan tidak sama sekali mengerti bahasa Sunda atau teman-teman pelajar dari luar Jawa Barat yang sedang belajar bahasa Sunda, fitur terjemahan ini bisa digunakan namun tidak 100% akurat, akan tetapi garis besarnya bisa diambil, daripada tidak mengerti mudah-mudahan admin punya waktu sehingga bisa mengoptimalkan fitur terjemahannya sendiri, dengan begitu pengunjung bisa mempelajari materi dalam bahasa Indonesia. PEDARAN TRADISI SUNDA A. PENGERTIAN BAHASAN TRADISI SUNDA Bahasa atau deskripsi adalah teks yang mengedarkan kasus berdasarkan fakta yang ditemukan. Baik dari hasil penelitian, baik dari hasil pengalaman mereka sendiri. Tentu saja, ada pengetahuan baru knowledge yang sangat bermanfaat bagi diskusi hampir sama dengan esai atau artikel, baik cara penulisan, atau kontennya. Hanya dalam esai atau artikel, subjektivitas saya gagasan menulis lebih tandes dan lebih jela B. BENTUK TULISAN BAHASAN Cara menulis Bahasa Sunda terdiri dari berbagai bentuk, termasuk ArgumentasiArgumentasi adalah wacana yang tidak benar-benar menggambarkan dan menjelaskan tidak adanya suatu masalah berdasarkan alasan kuat, untuk meyakinkan dan membangunkan pembaca untuk berjalan dalam sebuah adalah teks yang menjelaskan objek, tempat, atau peristiwa secara terperinci kepada pembaca seolah-olah Anda secara langsung mengalami peristiwa yang diwakili oleh lampu adalah tulisan yang menceritakan kejadian suatu peristiwa dari waktu ke waktu secara adalah wacana yang menggambarkan dan mengedarkan objek, prosesnya, tujuannya dan saya biasanya menggunakan bentuk tulisan campuran misalnya deskripsi dan narasi, atau narasi dan argumen. PEDARAN TRADISI RITUAL KAMPUNG CIREUNDEU BASA SUNDA Desa yang mayoritas masyarakatnya masih mempercayai RW ini dikelola oleh tiga orang sesepuh desa, yaitu Sesepuh yang mengatur kebijakan hidup regeneratif dan mengelola ritual tahunan yang diselenggarakan oleh Emen Sunarya 75, Ais Pangampih yang mengelola masyarakat yang diselenggarakan oleh Widia 50, dan Pengamat yang mengelola pemuda dan bercocok tanam hingga ditangkap oleh Asep Wardiman 45. Luas tanah kurang lebih 100 hektar, terbagi menjadi empat bagian, yaitu 10 hektar tanah pemukiman, 25 hektar hutan baladahan lahan pertanian sampai, dan 65 hektar terbagi atas tutupan hutan dan larangan. Kegiatan ritual tahunan paling sentral di Cireundeu adalah Sérén Taun Ngemban Taun Saka’ setiap hari pertama Sura, yang selalu disebut Suraan. Terletak di Bale Saréséhan – lebar 6×6 m dengan panggung pertunjukan seni 6×4 m -, dulu berada di tengah kampung. Tujuannya selain menutup dan melunasi tahun baru Saka, juga sebagai hari raya hasil pertanian dan peternakan, merayakan Tahun Baru di Kuningan. Selain itu, Bale Saréséhan akan memiliki fungsi yang sangat besar bagi anak muda di sana, sebagai tempat belajar aksara Sunda kuno dan berbagai kesenian Sunda celempungan, gondang, karindingan, angklung buncis, mamaos, dan degung. Jenis beras yang ditanam dan dikonsumsi di Cireundeu adalah beras pahit / kerikil yang oleh orang lain saya selalu menggunakan ternak parab. Karena selain rasanya yang pahit, rasanya juga tidak enak. Menurut Asep Wardiman, rasanya pahit jika dikonsumsi segera, tetapi jika diolah dengan baik dan bersih, rasanya pahit selain kandungan karbohidratnya tinggi setiap 100 gram mengandung energi 359 kkal, karbohidrat 86,5 gram, protein 1,4 gram, juga kandungan acina yang sangat besar. Dari 25 hektar lahan pertanian yang digunakan, Cireundeu menghasilkan 20 ton / hektar dalam sekali panen. Agar kualitasnya bagus, dipanen pada umur 10 bulan dan tinggi 2,5 m. Begitu juga dalam perawatannya, dari awal penanaman stek harus benar-benar. Paling sering sampai umur 2-4 bulan selalu terserang hama putih hama daun dan busuk bawang merah. Petani dibagi menjadi 10 kelompok yang masing-masing memiliki mesin jahit sendiri untuk membuat poros. Bukan di desa maupun di kota, hingga diolah menjadi berbagai makanan dengan nama berbeda dan cara pengolahan yang berbeda. Begitu pula di Cireundeu, hasil bumi diolah menjadi berbagai kebutuhan pokok sehari-hari, seperti nasi / nasi beras, awug, gegetuk, katimus, comro, misro, jrrd. Pangan menengah dan bahan olahan dari beras yang diproduksi untuk dijual antara lain konstelasi, pati, rangining, keju, kicimpring, kerupuk, dan peuyeum. Biasanya selalu dipasarkan ke wilayah Bandung, Sukabumi, Karawang, dan Jakarta. Konstelasi merupakan makanan pokok masyarakat Cireundeu dari sisa hasil olahan menjadi pati. Setelah dihancurkan dan dibersihkan, kecepatan di mesin dikurangi. Nah, konstelasi adalah konstelasi. Hasil medium parudanna saya bilas air semalaman di bath tub. Tingkat air irigasi telah dihapus, dan pengurangan tersebut dikurangi dalam 1-2 hari. Setelah kering, pati siap dipasarkan. Dari potensi yang diuraikan di atas, Cireundeu telah mendapatkan beberapa penghargaan dari instansi pemerintah, antara lain, Ketahanan Pangan dan Kelompok Tani Tertentu k dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1964 dan 2007. Penghargaan yang sama dari Dinas Ekonomi dan Koperasi Kota Cimahi, Walikota Cimahi, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Perekonomian, Dinas Perindustrian dan Agro Provinsi Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat, dan Presiden SBY tahun 2008 dan 2009. Hal tersebut tentunya menjadi contoh bagi desa lain dalam mengembangkan potensi petani dan budayanya, dengan dukungan masyarakat dan pemerintah. Pemerintah hendaknya tidak hanya memperhatikan daerah-daerah yang sudah terlihat potensinya, tetapi mendukung semua daerah yang kurang atau baru muncul potensinya. Bahkan dalam menghadapi krisis pangan yang melanda saya, petani mungkin tidak suka memanjat kari. Jangan hanya menyebut negara agraris saja, sedangkan dengan masyarakatnya banyak yang kelaparan.Ari Andriansyah dari Majalah Cahara 6, 2012 Tugas 21 Ada kata-kata yang tidak dimengerti? Buat catatan dan cari artinya di kamus!2 Apa yang dikenakan oleh mayoritas masyarakat Kampung Cireundeu?3 Apa tujuan diadakannya kegiatan ritual Seren Taun Ngemban Taun Saka’ di Kampung Cireundeu?4 Apa saja seni R&B di Kampung Cireundeu?5 Membuat pemrosesan apa pun oleh kami Cireundeu?6 Dari siapa Desa Cireundeu menerima penghargaan tersebut? KAMPUNGNAGA; Naga pada nama kampung ini bukan melambangkan hewan mitos, melainkan berasal dari bahasa Sunda nagawir, yang berarti dikelilingi tebing atau jurang (gawir). Masyarakat Desa Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya tersebut masih memegang erat adat istiadat dari leluhurnya. Mereka hidup dalam kesahajaan, tanpa alat elektronik dan kendaraan.
Sunda Begitu juga dengan kampung adat Cireundeu Bahan makanan pokok warga masyarakat kampung Cireundeu adalah singkong. Sedangkan bahan makanan pokok kampung adat lainnya adalah beras. Di Jawa Barat, kampung adat terdapat di beberapa daerah. Misalnya Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Kampung Pulo dan Kampung Dukuh di Kabupatén Garut, Kampung Kuta di Kabupaten Ciamis, Kampung Cireundeu di Kota Cimahi, Kampung Kasepuhan Cipta gelar di Kabupaten Sukabumi, Kampung Mahmud, Kampung Cikondang, dan Kampung Arjasari di Kabupatén Bandung. Soal Latihan ! 1. Kampung Naga téh perenahna di… Kabupatén Tasikmalaya. a. Kacamatan Salawu b. Kacamatan Singaparna c. Kacamatan Cilawu d. Kacamatan Néglasari 2. Kampung Naga disebut kampung adat lantaran. . . a. mindeng ngalaksanakeun upacara adat b. jadi salasahiji obyék wisata adat c. wargana masih ngukuhan adat karuhun d. imahna mangrupa imah panggung 3. Wawangunanana umumna mangrupa suhunan. . . a. jogo anjing b. julang ngapak c. badak heuay d. parahu kumureb 4. Hateup imahna teu meunang tina. . . a. Injuk b. eurih c. Kiray d. Kenténg 5. Di Kampung Naga mah teu mainarng aya ra a. panggung b. témbok c. bilik d. papan 6. Panto imahna teu meunang aya anu a. pahareup-hareup jeung imalh tatangga+ b. pahareup-hareup dina saimah c. pahareup-hareup jeung wangunan sejen d. pahareup-hareup jeung bumi ageung 7. Nurutkeun kapercayaan masarakatrna, panto hareup aru pahareup-hareup jeung panto dapur ngalantarankeun a. rejeki anu asup ka imah kaluar deui b. semah anu asup ka imah babari kaluar c. rejeki anu asup ka imah teu bisa kaluar d. rejeki anu kaluar ti imah teu bisa asup deui 8. Pipinding dapur kudu ku anyaman carang, maksudna sangkan a. katalingakeun ku tatangga mun keur masak b. katalingakeun ku tatangga mun dapurna teu ngebul c. bisa katémbong ku tatangga mun masak nu ngareunah d. bisa katémbong ku nu séjén kaayaan di dapurna 9. Kasenian anu meunang ditanggap di Kampung Naga, iwal a. Terbang b. wayang golék c. beluk d. rengkong 10. Poé Salasa, Rebo, jeung Saptu urang Kampung Naga teu meunang a. nyaritakeun sajarah lemburna jeung karuhunna b. nyaritakeun sajarah jeung karuhun lembur séjén c. nyaritakeun kaayaan jeung kahirupan lemburna d. nyaritakeun kaayaan jeung kahirupan lembur séjén Indonesia Sama halnya dengan desa adat Cireundeu, makanan pokok masyarakat desa Cireundeu adalah singkong. Sedangkan makanan pokok desa adat lainnya adalah nasi. Di Jawa Barat, desa adat terdapat di beberapa kabupaten. Misalnya Desa Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Desa Pulo dan Desa Dusun di Kabupaten Garut, Desa Kuta di Kabupaten Ciamis, Desa Cireundeu di Kota Cimahi, Desa Kasepuhan Cipta Gelar di Kabupaten Sukabumi, Desa Mahmud, Desa Cikondang, dan Desa Arjasari di Kabupaten Bandung. . Pertanyaan Pelatihan! 1. Kampung Naga terletak di… Kabupaten Tasikmalaya. A. Kecamatan Salawu B. Distrik Singapura C. Kecamatan Cilawu D. Kacamatan Neglasari 2. Kampung Naga disebut kampung adat karena. . . A. sering melakukan upacara adat B. menjadi salah satu tempat wisata adat C. warga masih mempertahankan adat istiadat leluhur D. rumahnya rumah panggung 3. Struktur umumnya merupakan setting. . . A. permainan anjing B. julang ngapak C. badak D. parahu kumurebo 4. Atap rumahnya tidak dari. . . A. Poughkeepsie B. eurih C. Kiray D. Kastil 5. Di Kampung Naga, saya tidak bermain disana A. panggung B. dinding C. Properti D. PAPAN 6. Pintu rumahnya tidak sampai ke sana A. masa depan dan tetangga imalh+ B. masa depan dalam rumah tangga C. masa depan dan bangunan lainnya D. masa depan dan bumi yang besar kepercayaan masyarakat, pintu depan aru depan-depan dan pintu dapur menyampaikan A. Keberuntungan ada di rumah lagi B. Tamu yang masuk rumah tongkang keluar C. Rezeki yang masuk ke rumah tidak bisa keluar D. Rejeki sudah keluar rumah dan tidak bisa dimasuki lagi 8. Tirai dapur harus dengan anyaman kacang, artinya A. diperhatikan oleh tetangga untuk memasak B. diperingatkan oleh tetangga ke dapur untuk tidak meniup C. dapat dilihat oleh tetangga untuk memasak kenyamanan D. dapat dilihat oleh keadaan lain di dapur 9. Seni yang diterima di Desa Naga, kecuali A. terbang B. wayang golek C. keluar D. cakar 10. Desa Naga Selasa, Rabu, dan Sabtu tidak menang A. menceritakan sejarah leluhur dan leluhurnya B. menceritakan sejarah dan nenek moyang lembur lainnya C. menceritakan situasi dan kehidupan almarhum D. menceritakan situasi dan kehidupan lembur lainnya
KampungAdat Ciptagelar diadegkeun ku pasukan Karajaan Sunda anu nurut kana parentah Prabu Siliwangi sarta dileupaskeun lantaran Prabu Siliwangi hayang moksa. Prajurit ieu lajeng dipisahkeun kana tilu grup, ngabentuk hiji désa interconnected anyar. Salah sahijina nyaéta Kampung Gedé anu dijadikeun puseur kasepuhan.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Kampung Adat Cireundeu, bukan merupakan nama kampung adat yang asing lagi di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Kampung ini berada di kelurahan Leuwigajah, kecamatan Cimahi Selatan, kota Cimahi, provinsi Jawa Barat, tepat letak kampung adat Cireundeu ini berada di sebuah lembah yang diapit Gunung Kunci, Gunung Cimenteng, dan Gunung Gajahlangu. Seperti namanya asal-usul penamaan kampung adat Cireundeu diambil dari kata “ci” yang dalam bahasa sunda berarti cai atau dalam bahasa indonesia yang berarti air, dan “reundeu” yang merupakan nama sebuah pohon. Sehingga nama Cireundeu ini diambil karena wilayah nya yang memiliki banyak pohon reundeu. Kampung adat Cireundeu merupakan kampung adat yang memiliki masyarakat yang cerdas dalam mengelola kehidupan sehari-harinya, prinsip-prinsip kehidupan yang dipegang oleh masyarakat kampung Cireundeu dari masa ke masa tidak menjadi penghalang zaman, melainkan memberikan dampak positif dalam pola kehidupan. Dari segi bahasa keseharian masyarakat baik orang tua, maupun anak-anak dalam komunikasi menggunakan bahasa sunda sebagai bentuk menjaga satu hal yang menjadikan kampung adat Cireundeu dikenal oleh banyak masyarakat umum karena makanan pokok utama warga sekitar kampung Cireundeu bukan merupakan beras atau nasi, melainkan makanan pokok utamanya yaitu singkong. Bukan tanpa alasan singkong menjadi makanan utama warga kampung adat Cireundeu, hal ini tentu berkaitan dengan beberapa faktor seperti sejarah pada masa penjajahan dan letak geografis kampung Cireundeu. Terdapat salah satu kalimat yang menjadi gambaran singkong sebagai makanan pokok utama kampung adat Cireundeu. “Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat.” Tidak Punya Sawah Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat. Melihat dari bagaimana masyarakatnya yang disiplin menjaga budaya serta alamnya dalam hal ini masyarakat Cireundeu dapat dikatakan mandiri dalam kehidupan pangan sehari-hari, karena masyarakat kampung Cireundeu biasa mengonsumsi apa yang mereka tanam. Persoalan tata ruang di kampung Cireundeu sudah menjadi hal yang sangat di pentingkan dan bukan menjadi hal yang aneh bahkan tabu lagi dalam masyarakat, sebab perhatian tersebut merupakan bentuk penjagaan alam sekitar. Dalam proses keseharian tanam-menanam tumbuhan seperti singkong salah satunya, tidak dilakukan di sembarang tempat terdapat lahan khusus dalam menanamnya, lahan tersebut yakni Hutan Baladahan sebagai hutan garapan, atau hutan yang diperuntukan menanam atau berkebun. Karena kampung Cireundeu memiliki 3 hutan selain hutan baladahan, hutan lainnya yang terdapat di kampung Cireundeu yakni hutan larangan dan hutan tutupan, alasan tidak semuanya dijadikan hutan garapan yakni guna menghindari pengikisan tanah, longsor, dan banjir, serta untuk menjaga sumber air, oksigen yang bersih, dan keutuhan alam yang dibutuhkan mahluk hidup untuk kehidupan. Oleh karenanya terdapat aturan-aturan tertentu ketika memasuki suatu hutan tersebut, salah satunya yakni menanggalkan alas kaki ketika memasuki hutan. Masyarakat kampung Cireundeu bukanlah masyarakat yang tertutup akan perkembangan zaman, hal ini tergambar dalam prinsip yang dipegang oleh masyarakat Cireundeu yakni “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” yang berarti “Ngindung Ka Waktu” yakni tetap warga kampung adat menjaga budaya dan adat istiadat leluhur , dan “Mibapa Ka Jaman” yang berarti tidak melawan zaman atau tetap mengikuti perkembangan zaman. Masyarakat kampung Cireundeu bahkan sangat peduli akan pendidikan anak-anak, hal ini terlihat dari adanya Sekolah Dasar yang berada di dalam wilayah kampung Cireundeu, bukan hanya itu terdapat pula bentuk sekolah kecil, bahkan di dalamnya terdapat layanan wifi gratis yang diberi oleh Diskominfo Jabar. Sekolah ini di fasilitasi untuk anak-anak kampung Cireundeu dalam mempelajari aksara sunda juga kesenian daerah, yang biasanya dilakukan tiap 1 minggu sekali yakni di hari minggu. Hal ini dilakukan guna menjaga kebudayaan dengan praktik secara langsung agar budaya tersebut tidak hanya dikenal dalam bentuk teori. Tidak hanya itu banyak pula anak-anak dari kampung Cireundeu yang sudah menjadi sarjana dan bekerja diluar kampung Cireundeu. Salah satu nasihat yang diberikan oleh orang tua kampung Cireundeu pada anaknya yakni salah satunya “kembali ke rumah harus dekat dengan alam”. Solidaritas antar masyarakat kampung Cireundeu sangat terasa mulai dari hal kecil seperti anak-anak yang masih banyak memainkan permainan tradisional bersama tanpa gangguan teknologi ditengahnya. Kemudian terlihat pula dalam suatu upacara adat yang akan dilakukan, dimana seluruh elemen masyarakat ikut membantu dalam prosesnya, bahkan menurut salah satu sesepuh kampung adat Cireundeu salah satu yang membuat kampung Cireundeu diberi penghargaan terkait dengan toleransi umat beragama yakni semangat gotong royong masyarakat yang tidak terhalangi oleh perbedaan ajaran ataupun agama. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
KampungCireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga Kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara,sebagaian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya, makanan pokonya nasi yang terbuat dari singkong atau di kenal dengan nama "Rasi" atau beras singkong, bahkan - Kampung adat Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Jawa Barat. Luas Kampung adat Cireundeu kurang lebih 42 hektare yang terdiri dari 60 hektare untuk pertanian dan empat hetare untuk Kampung adat Cireundeu memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan atau Sunda asli hingga saat ini. Kepercayaan ini mengajarkan untuk selalu melestarikan budaya dan adat istiadat. Adat-istiadat yang lestari ini menjadi daya tarik wisata. Banyak pengunjung datang ke kampung ini dengan tujuan wisata, penelitian, maupun keperluan lainnya. Kampung Adat Cireundeu Daya Tarik Kampung Adat Cireundeu Cireunde berasal dari nama pohon reundeu, hal ini terjadi karena sebelumnya kampung ini banyak sekali pohon reundeu, atau pohon untuk obat kampung adat Cireundeu memiliki prinsip Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman, artinya Ngindung Ka Waktu adalah sebagai warga kampung adat memiliki cara dan ciri masing-masing. Sedangkan, Mibapa Ka Jaman artinya masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan perubahan zaman tapi mengikutinya, seperti dengan adanya teknologi, televisi, handphone, maupun penerangan. Baca juga Hutan Larangan, Kampung Adat Cireundeu, dan Ancaman Pembangunan Adat-istiadat yang diturunkan secara turun temurun menjadi daya tarik pengunjung. Secara adat, masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki konsep kampung adat yang selalu diingat sejak zaman dahulu. Konsep yang terbagi menjadi tiga bagian ini terkait dengan penggunaan lahan. Konsep yang diwariskan secara turun-temurun ini, yaitu SistemBahasa Masyarakat Kampung Naga 31. Sistem Bahasa Kampung Naga • Bahasa sehari-hari adalah bahasa sunda, bisa juga bahasa Indonesia • Warga Kampung Naga ketika berbicara lembut dan agak cepat • Aksen Sunda sangat kental , dialek mereka lebih naik turun dan ketika berbicara tidak sesuai dengan tanda baca 32.
NUBANDUNG - Berada di daerah Leuwigajah, Kampung Adat Cireundeu merupakan salah satu kampung wisata tradisional di Bandung. Keberadaan berbagai kampung wisata tersebut mampu menghadirkan budaya serta seni lokal tradisional khas Sunda. Wisata yang kian populer serta banyak dikunjungi peminatnya tersebut bisa kamu temukan di beberapa daerah di saja Kampung Adat Cikondang, Kampung Kreatif Dago Pojok, Ekowisata Bambu Cipaku dan lainnya. Sementara Kampung Adat Cireundeu dalam bahasa Sunda sendiri berasal dari nama pohon reundeu yang dulu banyak ditemukan dalam kampung adat salah satu kampung wisata di Bandung, daya tarik utama Kampung Adat Cireundeu terletak pada Hutan Larangan dan Hutan Tutupan yang sekaligus menjadi kawasan hutan lindung. Warga adat Cireundeu yang terdiri dari 70 kepala keluarga sangatlah menjaga Hutan Larangan atau hutan sakral seluas 30 hektar tersebut, antara lain dengan tidak mengganggu ataupun merusak Dijadikan Sebagai Hutan PertanianSementara kedua hutan lain yang ada dalam kawasan Kampung Adat Cireundeu, yaitu Leuweung Tutupan merupakan hutan reboisasi yang pepohonannya boleh dipakai namun mesti ditanam pohon pengganti dan Leuweung Baladahan merupakan hutan pertanian yang dipakai buat berkebun oleh warga Sebagai Sumber Air AlamiWarisan tata wilayah sakral Hutan Larangan, Hutan Tutupan serta Babadahan dari leluhur mereka anggap sebagai konsep ideal guna menjaga keseimbangan alam yang wajib dijaga. Warga tidak pernah ikut campur dalam pengelolaan Hutan Larangan atau biasa disebut gentong bumi tempat menyimpan air oleh orang membiarkan apa yang tumbuh di dalam hutan terus bertumbuh, dengan begitu air tidak bakal berlebih saat musim hujan ataupun kekurangan air saat musim Hanya Orang Tertentu yang Bisa Masuk Hutan LaranganTidak seorangpun diizinkan masuk ke dalam Hutan Larangan, kecuali apabila kondisi habitatnya mengalami kerusakan. Itupun cuma terbatas sesepuh atau orang yang dituakan yang boleh masuk dengan syarat puasa mutih. Mereka akan melihat tanaman pengganti mana yang bisa ditanam menggantikan tanaman yang netepkeun kawilayahan sendiri terakhir dilakukan saat terjadi pembalakan liar tahun 2008 silam yang mengakibatkan kerusakan pada Hutan Kampung Adat CireundeuSaat mengunjungi kampung wisata adat Bandung tersebut kamu dijamin bakal terpesona dengan keindahan pesona pemandangan yang ditawarkan Batu Cadas Gantung yang berada di sana, dijamin kamu bakal puas setelah mengunjunginya. Keunikan lainnya yang menjadi daya tarik bagi para pengunjung adalah konsumsi kebutuhan pokok warganya yang berupa Warganya Mengikuti Perkembangan ZamanWalau warga Kampung Adat Cireundeu Cimahi masih memegang teguh warisan leluhur mereka, namun mereka tetap mengikuti perkembangan zaman dan teknologi lho. Terlihat dari pemakaian berbagai peralatan teknologi yang tidak jauh berbeda dengan warga itu kawasan tersebut juga bukan tipe perkampungan bernuansa tradisional layaknya perkampungan biasa. Kamu bakal melihat suasana yang termasuk modern di sana, dengan berbagai bangunan permanen di sekitarnya disertai juga dengan ruas jalan yang Dua Mata Air Sakral di Kampung Adat CireundeuWarga Adat kampung wisata tersebut memenuhi kebutuhan air mereka dari mata air lereng Gunung Gajah Langu yang diberi nama mata air Caringin. Sementara mata air lainnya yang juga sangat diandalkan warga sekitar adalah mata air Nyi Mas Ende yang sangat dijaga kesucian dan tidak memperbolehkan wanita yang sedang haid mendekati lokasi mata air tersebut. Hal tersebut dikarenakan lokasi tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sangat dihormati atau Dianggap Sebagai Air SuciKedua mata air yang berada dalam Wilayah Kabuyutan atau Larangan tersebut bukan cuma dipakai warga sekitar, namun juga umat Hindu di kawasan Cimahi maupun Bandung. Karena dianggap mata air yang suci, pancuran air Nyi Mas Ende dipakai sebagai tempat pelaksana penyucian diri membersihkan diri dari berbagai hal negatif setiap perayaan Kampung Adat Cireundeu sebagai wisata Bandung terbukti dengan diraihnya penghargaan Ikon Apresiasi Pancasila dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP di tahun 2019.
Ternyatamasyarakat kampung ini juga turut melestarikan kebudayaan sunda. Balai pertemuan ini selain untuk kumpul warga juga digunakan untuk latihan kesenian sunda. Banyak manfaat yang didapatkan dari kunjungan ke Kampung Cirendeu. Selain bisa sebagai objek wisata, kita juga bisa mendapatkan ilmu mengenai kearifan lokal dan lebih menghargai
ArticlePDF AvailableAbstractCireundeu merupakan salah satu kampung adat di Jawa Barat yang sampai saat ini masih memelihara tradisi kearifan lokal berupa ritual Suraan yang diselenggarakan setiap tahun. Melalui tradisi ini, Cireundeu berusaha mempertahankan citra sebagai Kampung Adat yang masih mempertahankan tradisi peninggalan jaman dahulu ditengah modernisasi ritual ini pada dasarnya merupakan kegiatan komunikasi yang sarat dengan simbol yang mengandung makna. Studi ini bertujuan untukmenjelaskan tentang aktivitas komunikasi yang dilakukan masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan sifat datanya kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi parsitipasif, wawancara dengan informan yang menjadi pelaku ritual, dan studi kepustakaan yangrelevan dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual upacara Satu Sura ini merupakan manifestasi dari rasa syukur masyarakat adat Cireundeu atas keberkahan yang diberikan Sang Pencipta, dan menjadi alat kontrol dalam tindakan atau pergaulan antar sesama komunikasi yang terlihat pada aktivitas ritual Suraan initermasuk pada perilaku terbuka, karena semua orang diperkenankan untuk terlibat di alamnya untuk mengekspresikan perasaannya, sehingga masyarakat Kampung Adat Cireundeu merespon stimulus dalam hal ini rangkaian ritual dengan bentuk tindakan dan praktek practice, sehingga masyarakat akan melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhannya. Citra yang terbangun pada Kampung Adat Cireundeu adalah kampung yang masih memelihara kearifan lokal di tengah modernisasi. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 219PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Submitted January 2018, Accepted April 2018, Published February 2019ISSN 2528-6927 printed, ISSN 2541-3678 online. Website Fauzan Ahdi Widyaputra, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Jl. Samudera Belakang Tangsi, Padang, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Email Kampung Adat Cireundeu pada Ritual SuraanFauzan Ahdi Widyaputra1, Evi Novianti2, dan Iriana Bakti31Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Budaya Kota Padang2,3Universitas PadjadjaranABSTRAKCireundeu merupakan salah satu kampung adat di Jawa Barat yang sampai saat ini masih memelihara tradisi kearifan lokal berupa ritual Suraan yang diselenggarakan setiap tahun. Melalui tradisi ini, Cireundeu berusaha mempertahankan citra sebagai Kampung Adat yang masih mempertahankan tradisi peninggalan jaman dahulu di tengah modernisasi. Ritual ini pada dasarnya merupakan kegiatan komunikasi yang sarat dengan simbol yang mengandung makna. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang aktivitas komunikasi yang dilakukan masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan sifat data kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi partisipatif, wawancara dengan informan yang menjadi pelaku ritual, dan studi kepustakaan yang relevan dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual upacara Satu Sura ini merupakan manifestasi dari rasa syukur masyarakat adat Cireundeu atas keberkahan yang diberikan Sang Pencipta, dan menjadi alat kontrol dalam tindakan atau pergaulan antar sesama manusia. Perilaku komunikasi yang terlihat pada aktivitas ritual Suraan ini termasuk pada perilaku terbuka, karena semua orang diperkenankan untuk terlibat di dalamnya untuk mengekspresikan perasaannya, sehingga masyarakat Kampung Adat Cireundeu merespons stimulus dalam hal ini rangkaian ritual dengan bentuk tindakan dan praktek practice, sehingga masyarakat melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhannya. Citra yang terbangun pada Kampung Adat Cireundeu adalah kampung yang masih memelihara kearifan lokal di tengah Kunci Citra; kampung adat; komunitas adat; perilaku komunikasi; ritual suraanImage of Cireundeu Indigenous Village Through Suraan RitualsABSTRACTCireundeu is one of a traditional village in West Java, which still maintains the tradition of local wisdom in the form of Suraan ritual held every year. Through this tradition, Cireundeu tried to maintain the image of an Indigenous Village which still retains ancient the heritage traditions amidst modernization. The purpose of this study is to gain an empirically about a communication event Kampung Cireundeu Indigenous Communities in terms of the meaning of symbols Suraan ritual performed by the village of Indigenous communities Cireundeu. The method used in this article is a qualitative - ethnography of communication, with data collection techniques are participatory observation, interview with informants who become ritual actors, and literature studies that are relevant to the problem under study. The results of the study showed that the ritual of the Satu Sura ceremony was a manifestation of the gratitude of the Cireundeu indigenous people for the blessings given by God, and became a means of control in actions or relationships among fellow humans. Communication behavior seen in the ritual activities of Suraan is included in open behavior, because all people are allowed to be involved in it to express their feelings, so that the people of Indigenous Village Cireundeu respond to stimulus in this case a series of rituals with forms of practice and practice communication according to their needs. The image that was built in the Cireundeu Traditional Village is a village that still maintains local wisdom amidst Communication behavior; image; indigenous communities; indigenous village; ritual suroan 220 PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana BaktiPENDAHULUAN Citra suatu daerah tidak terlepas dari perilaku para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan daerah tersebut, di mana salah satu produk pengelolaan daerah tersebut adalah terpeliharanya tradisi lama yang dilakukan oleh ketua adat dan masyarakatnya. Salah satu daerah yang masih memelihara tradisi lama tersebut adalah Kampung Cireundeu, yang berusaha mempertahankan citra sebagai Kampung Adat yang konsisten mempertahankan tradisi Sunda buhun berupa perilaku ritual Suraan yang diselenggarakan setiap tahun di tengah arus modernisasi yang yang diturunkan leluhur atau nenek moyang Komunitas Adat Kampung Cireundeu terhadap warga sebagai generasi penerusnya antara lain adalah kebiasaannya yang mengonsumsi rasi beras ampas singkong sebagai bahan pokok, cara mengolah lahan yang memiliki pola tersendiri, perilaku dalam mempertahankan prinsip leluhur dalam berhubungan dengan orang lain seperti tidak menyakiti orang lain, tetapi harus silih asih, silih asah, dan silih asuh, perilaku dalam mengambil keputusan dalam hal perkawinan, mengakses layanan pendidikan bagi anak-anaknya dan untuk memperoleh pelayanan sosial dasar bagi warga dengan cara yang diajarkan lainnya yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat Cireundeu adalah peringatan tahun baru Saka yang dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 1 Sura yang disebut oleh masyarakat dengan istilah Suraan. Perayaan ini merupakan tradisi nenek moyang yang dapat diartikan sebagai Cara Karuhun Urang, dan dilandasi oleh kepercayaan Sunda Wiwitan yang bersumber pada ajaran Madrais atau agama Cigugur. Perayaan Suraan ini merupakan kearifan lokal, yang menurut Yulianti, telah mengakar pada masyarakat, sehingga terus dipelihara dan rutin dilaksanakan oleh komunitasnya Yulianti, 2015.Upacara satu sura yang dilakukan oleh masyarakat adat Cireundeu ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas nikmat dan karunia, keberkahan dalam hidup, kesehatan lahir dan batin yang diberikan oleh-Nya demi keberlangsungan hidup. Adapun makna dari upacara satu sura itu sendiri adalah ketika manusia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya, maka manusia harus saling Kampung Adat Cireundeu adalah salah satu masyarakat etnis Sunda yang terletak dan menetap di Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Adat Kampung Cireundeu bukanlah masyarakat yang terasing. Di antara bukti bahwa komunitas adat ini bukanlah masyarakat yang 221PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana Baktiterasing adalah dengan mereka tidak menutup diri dari pergaulan dengan dunia tersebut ditunjukan oleh adanya interaksi mereka dengan masyarakat luar dan mereka terbuka dengan para tamu yang berkunjung ke wilayahnya. Bahkan para tamu yang datang diperkenankan untuk tinggal di lingkungan mereka dalam beberapa hari dengan ketentuan bahwa setiap pengunjung harus tetap menjaga, memelihara dan mentaati adat istiadat yang berlaku di lingkungan setempat, hal tersebut dilakukan dengan tujuan menunaikan amanat karuhun leluhur.Komunitas Adat Kampung Cireundeu merupakan masyarakat yang taat dalam menjalankan amanat leluhur. Keadaan demikian tampak dalam sistem sosial yang diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sampai dengan saat ini kehidupan masyarakat komunitas adat lebih bersifat apa adanya, mereka juga tidak tergiur dengan persoalan pemenuhan kebutuhan materi duniawi yang berlebihan, serta masih kuat dengan memegang teguh pikukuh amanat yang telah diwariskan secara turun Komunitas Adat Kampung Cireundeu mencerminkan keindahan dan kehebatan pola pikir warganya. Pola pikir yang masih mengedepankan keseimbangan alam, keteguhan memegang kearifan lokal dengan bukti yaitu dalam mengolah singkong sebagai bahan makanan pokok yang telah dilakukan oleh nenek tradisi Sunda Wiwitan yang masih dijalankan sampai sekarang semata-mata sebagai pembuktian dari sistem nilai, norma, pola pikir, pola sikap dan pola interaksi baik dengan sesama maupun dengan masyarakat luar. Tradisi tersebut diwarnai oleh pemaknaan terhadap realitas kehidupan dalam konteks sosial-budaya simbol yang dipetukarkan oleh masyarakat Komunitas Adat Kampung Cireundeu dan digunakan untuk merepresentasikan apa yang dimaksudkan, dan juga digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan sebagai hasil interpretasi atas realitas yang mereka alami dalam kehidupannya. Begitupun pada ritual Suraan yang dilakukan Komunitas Adat Kampung Cireundeu yang menyimpan banyak simbol yang merupakan produk dan sekaligus sebagai kekayaan budaya setempat yang unik dan khas dalam bentuk simbolik, dari yang bersifat semiotis seperti penggunaan baju adat pangsi yang serba hitam, metaforis dilihat dari bahasa yang digunakan sehari-hari dan yang digunakan juga saat ritual seperti panjatan doa untuk karuhun, dan terkadang retoris, abstrak dan universal. Tentunya simbol-simbol tersebut tidak dapat dipahami oleh semua orang, namun tetap merepresentasikan fenomena yang terjadi. 222 PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana BaktiEller menyebutkan bahwaSymbols, in the very simplest construction, are things—objects, images, sounds, actions, gestures, utterances, and almost any other medium—that ―mean something, that ―have a meaning. The ―meaning is that which the symbol ―stands for, the phenomenon of which it is a representation or a place-holder. Moreover, the relationship between the symbol and its meaning is arguably arbitrary and conventional—that is, there is no necessary connection between the particular meaning and the particular symbol Waluyo, 2015.Tentunya beragam bentuk simbol yang digunakan tidak muncul dengan sendirinya, melainkan melalui proses pembubuhan makna. Fenomena simbolik pada perspektif komunikasi juga dipandang sebagai produksi sekaligus pertukaran makna sekalipun pertukaran makna tersebut berlaku secara lokal. Untuk meninjau simbol yang mengisyaratkan perilaku komunikasi maka diperlukan pembagian pada dua pengidentikasian masalah yakni perilaku dapat ditinjau dari kaidah bahasa khususnya saat pelaksanaan ritual Suraan dan bagaimana aktivitas ritual Suraan yang terjadi di Komunitas Adat Kampung pengidentikasian perilaku pada ritual Suraaan tersebut pada dasarnya merupakan aktivitas komunikasi ritual, yang menurut Mulyana, sesuatu yang biasanya dilakukan oleh komunitas yang sering dengan melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut oleh antropolog sebagai rites of passage Manafe, 2011.Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi serta memahami perilaku komunikasi Komunitas Adat Kampung Cireundeu pada ritual Suraan. Penelitian ini merupakan studi etnogra komunikasi tentang culture suatu komunitas yaitu Komunitas Adat Kampung PENELITIANPenelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan untuk mengamatai dan mendeskripsikan berbagai fenomena tentang perilaku manusia dalam lingkungan hidupnya, berinterkasi dengan mereka untuk memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan mereka tentang dunia sekitarnya. Hal ini bisa terjadi menurut Artawan, Dewi, & Budiana, 2016, karena pada penelitian kualitatif kedalaman makna tentang fenomena menjadi tradisi penelitian yang digunakan adalah etnogra komunikasi. Dengan pendekatan metode etnogra komunikasi dapat memberikan deskripsi, menjelaskan bahkan menyatakan adanya hubungan antara kategori-kategori dan data yang ditemukan. Ini sejalan dengan dari tujuan etnogra yaitu untuk menggambarkan, menganalisis, dan menjelaskan simbol-simbol budaya dari suatu kelompok sosial atau sub kultur. 223PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana BaktiUntuk mendapatkan data penelitian, maka peneliti menggunakan wawancara mendalam, observasi partisipan, dan studi dokumentasi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan dan triangulasi teori dan wawancara untuk menentukan keabsahan penelitian yaitu dengan menggunakan beberapa perspektif yang berbeda untuk mengintepretasikan data yang sama. Konsep yang digunakan tidak hanya menggunakan konsep komunikasi dengan fokus pada komunikasi kelompok dan ritual sebagai kajian utama penelitian ini namun juga digunakan konsep-konsep tentang komunitas adat, ritual, dan DAN PEMBAHASANSalah satu ritual keagamaan besar yang sering dilakukan setiap tahunnya oleh masyarakat Kampung Cireundeu yaitu peringatan Tahun Baru 1 Sura. Ritual ini adalah adalah lebarannya penganut aliran kepercayaan yang dilaksanakan sebagai upacara nutup taun Tutup tahun dan ngemban taun Menyambut tahun baru Saka dalam penanggalan Sunda. Kegiatan ini merupakan kearifan lokal yang telah mengakar pada masyarakat, sehingga terus dipelihara dan rutin dilaksanakan oleh komunitasnya Yulianti, 2015.Peringatan Tahun Baru Saka yang deperingati oleh masyarakat adat Cireundeu dalam tradisi Jawa disebut dengan satu Suro, dan bertepatan dengan tanggal 1 Muharam, yaitu tahun baru Islam Hijriyah. Antara tahun Hijriyah dengan tahun Saka yang digunakan pada zaman Sultan Agung dari Mataram untuk menggantikan Saka Hindu. Sebenarnya dulu, masyarakat Kampung Adat Cireundeu masih melaksanakan rapat untuk menentukan tanggal 1 Sura, tapi sekarang tidak lagi, karena 1 Sura diperingati bersamaan dengan tahun baru Suraan ini dilaksanakan di Bale Saresehan tempat berkumpul masyarakat adat yang waktuya dari pagi sampai sore. Pada ritual Suraan terdapat serangkaian bagian yang terjadi. Hal ini diawali dengan perayaan hari raya dan diakhiri dengan hiburan wayang golek semalam suntuk. Seluruh masyarakat Kampung Adat Cireundeu ikut andil dalam rangkaian ritual ini, gotong royong yang menjadi falsafah hidup masyarakat, terasa rangkaian Suraan di Kampung Adat Cireundeu, masyarakat menggelar acara syukuran nganuhunkeun atas nikmat yang telah diberikan selama setahun ke belakang, acara yang mirip dengan Idul Fitri pada masyarakat Muslim ini dilaksanakan tepat tanggal 1 Sura di Bale Saresehan, di mana semua masyarakat menggunakan baju adat Sunda, pangsi untuk laki-laki dan kebaya putih ber-samping kain batik yang dililit sebagai rok untuk perempuan bermotif khas Cireundeu yaitu lereng kujang 224 PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana Baktiuntuk bawahannya. Motif lereng kujang tersebut konon melambangkan budaya asli Sunda. Namun ternyata pemakaian samping disesuaikan dengan keinginan penggunanya, biasanya memakai kain samping khas Jawa lainnya yang disediakan di Bale Adat di tengah ririungan warga dalam rangkaian hari “lebaran” tersebut adalah gunungan sesajen yang terdiri dari aneka ragam buah-buahan dan rasi nasi singkong. Keunikan yang terdapat di kampung Cireundeu adalah makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakatnya adalah nasi dengan bahan bakunya singkong. Hal ini dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda 1918 sebagai wujud kepatuhan masyarakat adat Cireundeu terhadap wejangan leluhur upacara Satu Sura ini merupakan manifestasi dari rasa syukur masyarakat adat Cireundeu atas keberkahan yang diberikan Sang Pencipta, yang dalam pelaksanaannya telah terjadi perubahan dalam hal berpakaian, dimana sebelum tahun 2000-an, pakaian yang dikenakan oleh masyarakat merupakan pakaian baru, namun seiring dengan perjalanan waktu, pakaian yang dikenakan berubah, di mana kaum laki-laki memakai pangsi berwarna hitam, sedangkan untuk kaum wanitanya memakai kebaya atau pakaian berwarna putih. Perubahan model pakaian tersebut, merupakan implementasi dari pewarisan nilai yang bersifat simbolis dan bermakna introspeksi diri, dan pelestarian nilai-nilai luhur para leluhur Waluyo, 2015.Pelaksanaan ritual dari jam delapan lebih dan dilaksanakan ririungannya di Bale, dimana semua warga adat wajib berkumpul di Bale Saresehan bagi perempuan, dan laki-laki berkumpul di pendopo panggung diluar Bale. Yang berada di dalam Bale tentu jajaran kasepuhan yang ada di Kampung Adat Cireundeu dan juga panitia pelaksana acara seperti ketua dan pembawa acara ritual Suraan ini terbuka untuk masyarakat umum, tetapi dengan syarat masyarakat atau pengunjung yang datang tetap menghormati saat-saat ritual seperti wejangan dan du’a. Ketika Abah Emen sebagai sesepuh kampung Cireundeu memberi wejangan, masyarakat mendengarkanya dengan seksama, karena Ia merupakan salah satu tokoh yang memiliki karisma di mata komunitasnya. Karisma ini muncul dari pancaran kualitas kepribadian yang dapat membangkitkan pesona gaib’, sehingga dikagumi oleh komunitasnya, seperti jujur, dapat dipercaya, tegas, konsisten, pemberani, dan cerdas Hindaryatiningsih, 2016. Karisma ini pada akhirya sering melahirkan otoritas pada dirinya untuk membangun ditutup dengan prosesi saling meminta maaf dengan ciri khas memercikkan 225PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana Baktiminyak wangi ke tangan sebelum bersalaman. Aturan dalam menjalankan sungkem dimulai dari perempuan yang ada di Bale. Berbaris rapi, bergiliran memberikan penghormatan salam kepada sesepuh Kampung Adat, setelah itu dilajutkan dengan kaum pria yang menuruni panggung, ikut menyambung barisan menuju Bale untuk sungkem pada sesepuh. Di panggung pun semua warga menyambung barisan untuk saling bersalaman. Suasana saat sungkem sangat khusyu dan diwarnai dengang isak tangis haru dari setiap warga Kampung Adat Cireundeu. Suasana seperti ini tidak terlepas dari karisma sesepunya, dan hal ini dapat dijadikan model pewarisan nilai-nilai budaya kepada masyarakat lokal komunitas, masyarakat sekitarnya, dan juga pemerintah sebagai pranata pendukungnya yang memiliki tanggung jawab dalam menyosialisasi dan mewariskan nilai-nilai tradisi masyarakat lokal kepada generasi selanjutnya Hindaryatiningsih, 2016.Selain melaksanakan sungkem, tidak jarang para warga juga mengajak bersalaman para pengunjung yang datang. Di sini perngunjung dilibatkan semata-mata dengan tujuan sebagai makhluk yang ada di dunia, meminta maaf pada sesama, agar dapat menjalani kehidupan dengan baik, saling menolong dan sebagai rasa toleransi antar umat dengan berbagai kepercayaan. Acara penutup yang paling terasa kekeluargaannya adalah makan prasmanan, dimana semua yang datang dipersilahkan mencicipi hasil bumi dan olahan singkong yang dibuat oleh para wanita di kampung acara yang biasanya dilaksanakan di pertengahan bulan Sura, atau saat akan nutup bulan Sura ini sepakat dilaksanakan pada 3 hari terakhir di Bulan Sura, menurut Kang Jajat, tanggal tersebut dipilih dengan kesepakatan bersama warga kampung adat dimusyawarahkan dengan pertimbangan dengan sesepuh. Rapat untuk menentukan tanggal dibuat terpisah dan tertutup. Menurut pemaparan Abah Iyu, penanggalan tidak dapat dibuat asal-asalan, namun banyak hal yang harus diperhatikan dan juga jangan sampai mengganggu warga lain di lingkungan luar Kampung Adat, karena hidup adalah berdampingan, selaras, baik dengan masyarakat sekitar, alam, dan semua isi di dunia. Ini merupakan pandangan hidup masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab yang berkaitan dengan hak dan kewajiban sangat menekankan pada ketenteraman batin Axiaverona, 2018.Puncak acara ritual Suraan dilaksanakan dengan ritual yang dinamakan ritual “Damar Sewu” seribu damar/obor sebagai pembuka acara yang mirip dengan acara pembuka dalam upacara seren taun di Cigugur Kuningan, yaitu sebagai gambaran manusia dalam menjalani kehidupan baik sosial maupun pribadi. Namun di Kampung Adat Cireundeu, ritual Damar 226 PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana BaktiSewu dilakukan lebih sederhana, tapi tidak serta merta meninggalkan esensi dari ritualnya Damar Sewu biasa diadakan pada malam hari sekitar jam 7 malam. Ritual Damar Sewu di Kuningan dimulai dengan penyalaan obor besar yang ada di halaman gedung paseban Tri Panca Tunggal oleh seorang pemuda yang menunggangi kuda sambil membawa obor besar menyala dilanjutkan dengan menyalakan obor obor lain yang berada di sepanjang jalan desa Cigugur, sehingga desa Cigugur menjadi terang benderang oleh cahaya dari damar yang banyak tersebut. Pada saat pelaksanaan dari rangkaian ritual Suraan di Kampung Adat Cireundeu, ritual Damar Sewu diawali pukul WIB. Sebelumnya, kira-kira jam 6 sore atau saat matahari mulai terbenam, saung yang berisi dengan hasil bumi sebagai persembahan dan tanda syukur kemakmuran Kampung diberikan dupa. Sehingga rangkaian ritual Damar Sewu sudah bisa dirasakan oleh warga dan pendatang yang datang, namun tidak banyak pendatang yang ikut menyaksikan pembakaran dupa, karena pembakaran dupa tidak dilakukan besar-besaran, hanya dilakukan di beberapa pun baru menyadari ada pembakaran dupa setelah aromanya tercium cukup kuat dan membuat suasana yang menjadi terasa khusyu, damai walaupun keadaan di sekitar Bale ramai warga yang masih gotong royong menyiapkan kursi dan kebutuhan yang berarti juga sebuah doa dan harapan ini sama juga sebagai sambutan kepada Sang Maha Kresa dan karuhun esensinya sama, nganuhunkeun sadaya keresana ke warga Kampung Adat sampai akhirnya masih bisa menikmati hasil bumi yang berlimpah, kesehatan jasmani rohani, dan juga kesempatan hidup di dunia. Setelah ngadu’a, dilanjutkan dengan prosesi seribu obor. Awal mulanya seorang tokoh adat memasuki kawasan Bale membawa sebuah obor yang sudah dinyalakan, lalu naik ke panggung, yang ternyata disana sudah ada empat orang nonoman atau anak muda yang duduk rengkuh membawa obor yang padam. Lalu satu per satu obor itu dinyalakan dan keempat nonoman berkeliling kampung menyalakan obor yang sudah dipasang di sepanjang jalan menuju Kampung saja semua yang dilaksanakan memiliki arti dari rangkaian ritual Suraan diawali oleh arak-arakan dari simpang tiga jalan masuk ke Kampung Adat. Arak-arakan melibatkan semua orang termasuk atau wisatawan diperkenankan untuk membawa seserahan yang isinya adalah semua kuliner atau makanan yang terbuat dari singkong atau olahan singkong yang diproduksi oleh warga Kampung Adat Cireundeu. Seserahan 227PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana Baktitersebut disimpan di dalam nyiru alat rumah tangga, berbentuk bundar, dibuat dari bambu yang dianyam, gunanya untuk menampi beras dan sebagainya.Sebelum para pendatang masuk ke dalam kampung adat dan memulai arak-arakan, sebelumnya dilaksanakan ijab kabul. Ijab kabul adalah sebuah panjatan doa dari sesepuh yang disini adalah Abah Iyu yang meminta izin akan mengadakan kegiatan, agar acaranya berjalan lancar dan diberkahi. Juga ijab kabul ini dimaksudkan sebagai penyambutan dan ikrar janji khususnya pendatang bahwa tidak akan melupakan Tuhan Yang Maha Esa walaupun berbeda kepercayaan. Seperti mengingatkan bahwa hidup di dunia ini harus selaras, seimbang, baik dengan manusia dan juga ijab kabul adalah dengan memegang sebuah kendi dari tanah liat yang diisi air dan daun hanjuang. Air yang digunakan pun bukan sembarang air, melainkan air yang dianggap suci dan tersebar di seluruh nusantara. Selain membawa hasil bumi, turut pula menyertakan nasi rasi tumpeng, tumpeng yang disajikan juga semua dari hasil panen dan ternak warga adat kampung adat. Jadi, di Kampung Adat Cireundeu, bukan hanya bertani, namun ada juga yang berternak, walaupun tidak banyak namun ternak dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup geogras, tumpeng merupakan tradisi purba masyarakat Indonesia terutama masyarakat Jawa yang wilayahnya dipenuhi gunung berapi tempat para hyang/arwah leluhur/nenek moyang bersemayam. Tumpeng yang sekarang dipengaruhi oleh budaya Hindu, sehingga berbentuk kerucut meniru bentuk gunung Mahameru tempat bersemayam menarik, di akhir rombongan arak-arakan, ada tandu yang dibawa oleh 4 empat orang warga adat baik dari nonoman maupun dewasa. Tandu tertutup yang terbuat dari bambu ini berwarna putih dan beratap ijuk yaitu bagian dari atas dari pohon Palma yang besar dan tinggi, dapat mencapai 25 m. Berdiameter hingga 65 cm, batang pokoknya kukuh. Tandu itu berisi sebuah singkong yang berukuran agak besar dan diselimuti oleh kain berwarna tandu singkong itu memasuki kampung adat, barulah para pendatang wisatawan diperkenankan memasuki wilayah kampung adat dengan menyambung rombongan yang sudah masuk terlebih dulu, disusul dengan kesenian angklung buncis yang dimainkan anak-anak memakai seragam warna biru kampung adat, pendatang disambut oleh buah-buah pisang yang tergantung di sepanjang jalan menuju Bale. Buah pisang sengaja digantung di setiap penjuru kampung, bukan hanya di jalan besarnya saja. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamu para tamu yang 228 PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana Baktidatang. Pisang dipilih karena ternyata selain singkong, buah-buahan yang banyak hidup di lahan para warga adalah buah pisang. Tercatat menurut Kang Jajat dan Abah Widi, ada sekitar 70 jenis pisang yang tumbuh. Tidak heran, buah pisang yang disajikan di setiap sudut kampung ini berbeda disambut dengan buah-buahan yang tergantung di sepanjang jalan menuju Bale, ada pula anak-anak perempuan hingga remaja memakai kebaya putih khas Kampung Adat Cireundeu, mereka memainkan untuk menyambut para tamu yang datang, nada yang dimainkan tidak beraturan, maksudnya mereka hanya membuat kegaduhan yang membuat tamu semangat karena walaupun nadanya tidak beraturan tetap terdengar lembut dan suasananya menjadi terasa Sunda memasuki kawasan Bale Saresehan, rombongan warga adat, pendatang baik dari penghayat kepercayaan lain dan wisatawan, ditahan di lapangan yang sudah didekorasi sedemikian rupa, karena di lapangan ini akan diadakan prosesi ngajayak yang sebelumnya diawali dengan lengser dari warga Kampung Adat Cireundeu. Ki Lengser atau biasa disebut lengser saja merupakan salah satu tokoh dalam dunia kerajaan Padjadjaran yang dikenal sebagai pendamping sang prabu atau utusan perwakilan sang prabu yang turun dan menemui rakyat Padjadjaran kala Lengser ini merupakan imajinasi masyarakat Sunda yang memiliki karakter unik. Tokoh ini digambarkan sebagai gur yang memiliki karakteristik polos, lucu, namun memiliki kecerdasan sehingga dianggap serba bisa. Tentulah sangat berbeda penggambarannya Ki Lengser utusan prabu dan Ki Lengser dalam ritual. Dalam upacara ritual, lengser digambarkan sebagai seorang laki-laki tua yang berpakaian sederhana dengan memakai baju dan celana pangsi, dan ikat kepala. Dalam menyambut para tamu, biasanya Ki Lengser didampingi oleh panyagan pemain musik, pamaya penari, dan punggawa prajurit penjaga. Ki Lengser mengarahkan jalannya upacara dan mengarahkan para tamu hingga duduk di tempat yang ngajayak di Kampung Adat Cireundeu sendiri adalah ritual Penyembutan Padi, di Cigugur Kuningan, upacara ngajayak ini dilaksanakan pada tanggal 18 dilanjutkan dengan penumbukan padi dan sebagai puncak acaranya jatuh pada tanggal 22 dari ngajayak ini adalah menerima dan menyambut, sedangkan angka 18 dalapan welas mengandung makna sebagai welas asih atau cinta kasih dan kemurahan Tuhan Sang Pencipta atas anugrah kemakmuran manusia dan alam semesta. Semua aktivitas tersebut merupakan implementasi dari komunikasi ritual, di mana menurut Manafe, pihak-pihak 229PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana Baktiyang terlibat di dalamnya menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka Manafe, 2011.Setelah prosesi ritual ngajayak, dilanjutkan dengan pentas kesenian warga adat, ada rampak kendang, umbul-umbul, diikuti dengan kaulinan barudak yaitu oray-orayan, permainan anak ular-ularan dalam Bahasa Indonesia atau kaulinan barudak oray-orayan dalam Bahasa Sunda termasuk pada dwiwacana atau kata berulang memakai akhiran -an yang artinya meniru atau menyerupai ular. Permainan ini dapat dimainkan oleh anak laki-laki dan perempuan atau campuran yang berumur antara 5 sampai 12 tahun. Biasanya permainan ini lebih dikenal di pedesaan dan dimainkan di halaman sekolah atau halaman rumah pada waktu pagi, siang, sore, bahkan malam hari rumah oleh murid-murid sekolah ketika bulan kaulinan barudak oray-orayan adalah sebuah permainan anak yang mayoritas berada dekat dengan alam kebun atau lahan pertanian dan pekerjaannya bertani. Ada pula nilai-nilai yang terkandung dalam permainan oray-orayan ini yaitu mengajarkan sedari ekcil tentang sportitas, kerja sama, kerja keras, menghargai orang lain, dan yang penting adalah oray-orayan biasanya dilakukan oleh 7-20 anak dan tidak memerlukan alat bantu apapun hanya syair-syair yang dinyanyikan yang isisnya berupat tanya jawab di antara mereka. Permainan ini terdiri dari dua barisan supaya terdapat dua kepala ular, dimana anak yang paling depan berperan sebagai kepala, yang tengah sebagai badan, dan yang belakang biasanya ditempatkan anak yang lebih kecil tubuhnya supaya lincah yang berperan sebagai ekor. Semuan anak-anak yang terlibat dalam permainan ini saling memegang pundak, kecuali anak yang paling kepala ular itu saling berhadapan. Setelah itu mulailah barisan atau ular itu berjalan meleok-leok mengikuti kepala ular seolah akan menerkam ekor ular lawannya. Oleh karena mereka mengatur posisi saling akan menerkam ekor ular, maka terdengar jerit dan tawa riang disertai lantunan lagu aktivitas komunikasi pada rangkaian ritual Suraan adalah menggunakan bahasa Sunda yang halus dan baik sebagai bahasa untuk menasehati memberi wejangan bagi masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Budaya mereka selama ini, semua aktivitas yang dilakukan ketika rangkaian ritual Suraan memiliki makna yang khusus, yang terkadang orang tidak mudah untuk mengartikannya dalam waktu yang tidak sebentar dan kebanyakan orang yang merasa tidak mengerti dengan makna yang terkandung dalam untuk rangkaian ritual tersebut. Aktivitas pada saat ritual yang 230 PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana Baktidisampaikan dalam bentuk simbol-simbol dengan peralatan yang biasa ritual Suraan bagi masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang bermayoritas pekerjaannya sebagai petani merupakan sebuah wujud syukur mereka kepada Sang Khyang atas kehidupan yang telah diberikan di dunia. Ritual Suraan ini merupakan ritual turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang bermayoritas pekerjaannya adalah satu nilai kehidupan masyarakat Kampung Adat Cireundeu adalah gotong royong dan kerjasama. Ini pula yang terlihat dalam rangkaian ritual Suraan, ketika akan memasuki bulan Sura, hingga selesai bulan Sura ini, Bale sarasehan tampak seperti menjadi rumah bagi warga, hampir setiap hari tidak pernah sepi. Semua lapisan masyarakat mulai dari kasepuhan sampai anak-anak ikut membuat dekorasi di sekitar Bale. Ritual ini pada dasarnya adalah kegiatan komunikasi ritual, di mana para pesertanya dapat berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi keterpaduan mereka Manafe, 2011. Hal ini dilakukan agar ritual Suraan dilaksanakan tepat waktu, karena mereka sadar rangkaian ritual Suraan bukan hanya untuk warga adat, tetapi juga terbuka untuk ritual Suraan ini merupakan implementasi komunikasi ritual yang bersifat sukarela yang dilakukan masyarakat secara turun temurun berdasarkan kebiasaan dan perilakunya telah ditentukan. Kegiatan ini pun bertujuan untuk mentransmisikan informasi tentang gagasan dan ide juga menyimbolisasi sesuatu yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, proses komunikasi yang terjadi dalam komunikasi ritual bukanlah berpusat pada transfer informasi, tetapi lebih mengutamakan sharing berbagi budaya bersama, sehingga proses transmisi pesan tidak menjadi tekanan utama Andung, 2010.Ritual Suraan merupakan sebuah aksi bukan hanya pemikiran dalam hal ini masyarakat Kampung Adat Cireundeu melaksanakannya bukan hanya sebagai pemikiran tanpa melakukannya. Kedua, dilakukan secara sadar dan bersifat sukarela, rangkaian ritual Suraan dilakukan secara sadar dan masyarakat setempat merasa tidak keberatan dalam melakukan ritual tersebut. Ketiga, irrational karena dianggap tidak bermanfaat, bagi orang luar, namun, masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki makna berbeda dengan ritual Suraan tersebut. Keempat, bukan sebagai hiburan, masyarakat Kampung Adat Cireundeu menganggap ritual ini adalah khusus bukan sebagai hiburan, tetapi merupakan hal yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kelima, dilaksanakan secara kolektif, hal ini terbukti dengan pengerjaan dan 231PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana BaktiSumber Data Penelitian, 2018Gambar 1 Aktivitas Komunikasi di Komunitas Adat Kampung Cireundeu pada Ritual Suraanhasil panen dari setiap efektitas simbol-simbol, dalam hal ini simbol-simbol yang ada dimaksudkan dengan tujuan dari ritual Suraan. Ketujuh, ekspresif, kegiatan ini merupakan bentuk ekspresi wujud syukur masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang telah diberikan kehidupan yang layak, ditambah dengan kesuburan tanahnya. Suraan ini dilaksanakan sebagai harapan untuk dapat hidup layak di tahun mendatang, dan hasil bumi yang berlimpah, banyak dan unggul. Kedelapan, customary behavior, ritual Suraan ini diwariskan secara turun temurun dan bersifat kebiasaan. Kesembilan, regularly recurring behavior, kegiatan ini dilakukan secara berulang dan ditentukan mengikuti siklus waktu yaitu tutup tahun ngemban tahun Saka Sunda. Kesepuluh, keramat, dalam ritual dan makna yang diberikan masyarakat Kampung Adat Cireundeu pada rangkaian ritual Suraan lebih tepatnya disebut dengan sakral. Karena ritual Damar Sewu dan ngajayak memiliki makna mendalam bagi masyarakat adat dan doa rajah itu merupakan simbol-simbol yang disakralkan untuk meminta yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Cireundeu menggambarkan situasi komunikasi yang berfokus pada jantung Kampung Adatnya, yaitu kawasan Bale Saresehan, tempat terjadinya ritual, juga dilakukan di gerbang masuk utama menuju kampung adat simpang tiga. Situasi komunikasi di Bale, sebagai jantung Kampung Adat, biasanya di Bale banyak terjadi komunikasi antara baik sesama warga adat, maupun dengan orang lain pendatang. Situasi komunikasi yang terjadi pada warga Kampung 232 PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana BaktiSumber Data Penelitian, 2018Gambar 2 Pola Komunikasi di Kampung Adat Cireundeu pada Ritual SuraanAdat ketika ngadekor merupakan situasi tutur berupa percakapan tentang segala aktivitas yang dikerjakan sehari-hari, maupun yang bersifat pribadi. Tidak jarang para warga adat pun saling memberikan teguran jika menilai sebuah perbuatan yang menurut mereka tidak benar saling mengingatkan sesama manusia. Situasi tutur ini merupakan konteks terjadinya komunikasi yang tidak selalu komunikatif Iswatiningsih, 1994.Situasi komunikasi yang dilakukan oleh semua warga adat yang ikut dalam tahapan ngadekor ini mementingkan pekerjaan. Tidak heran jika ada beberapa saat, suasana Bale cukup hening walaupun di sana sangat ramai. Lebih fokus bekerja ini juga dimaksudkan agar persiapan ritual yang akan dijalankan nanti cepat selesai. Jika bercermin pada masyarakat 233PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana Baktiluar kampung adat, kadang pekerjaan banyak tertunda karena kebanyakan bicara. Namun, tetap saja, percakapan tidak dapat dihindari. Percakapan juga bisa dinilai lebih banyak atau berfokus pada tema besar tentang konteks kegiatan yang akan mereka jalani, misalnya seperti menanyakan hasil bumi yang masih belum disiapkan, atau alat dan bahan ritual yang masih belum kumplit, dan lain-lain. yang dipantau oleh Ketua adat Abah Emen. Pada saat Ketua Adat ikut terlibat dalam pembicaraan, sehingga suasana menjadi hening, maka hal tersebut merupakan peristiwa tutur. Peristiwa tutur senantiasa bersifat komunikatif dan diatur oleh kaidah untuk penggunaan tutur Iswatiningsih, 1994Ritual yang dilakukan oleh masyarakat kampung Cireundeu menggambarkan situasi komunikasi yang tidak terlepas dari konteks komunikasi dan konsep waktu saat melakukan aktivitas terjadinya. Konteks komunikasi biasanya berlangsung ketika berkumpul di Bale, baik siang hari, sore hari, bahkan hingga malam hari. Konsep waktu, hari, musim hanya memengaruhi topik obrolan yang disampaikan. Partisipan tetap sama begitu dengan proses komunikasinya. Namun berbeda saat melaksanakan ritual, yang dimana situasi komunikasi berubah sakral dan tertib. Saat prosesi ritual sungkeman, situasinya berubah menjadi haru, tidak jarang warga adat yang hingga meneteskan air mata saat melakukan sungkeman pada jajaran kasepuhan ataupun dengan keluarga dan kerabatnya. Situasi sungkeman ini dinilai sangat kekeluargaan, yang dimana warga adat juga ikut menyalami pengunjung yang datang saat ritual sungkeman di laksanakan. Persepsi perilaku tentu saja sesuai dengan tujuan komunikasi antarpribadi, dimana dilakukan oleh tuan rumah dan tamu yang melaksanakan rangkaian ritual melibatkan beberapa jejeran yang memimpin ketika ritual akan dilakukan. Jejeran ritual adalah mereka sesepuh Kampung Adat dan tokoh masyarakat yang dianggap bisa dan mampu. Selain jejeran, juga adanya Ki Lengser sebagai aktor utama dalam ritual bisa terjadi dalam situasi apapun pada rangkaian ritual rangkaian ritual Suraan ini juga melakukan komunikasi secara intens, dengan tujuan untuk berkolaborasi, bekerja sama agar segala sesuatu untuk melaksanakan ritual Suraan berjalan baik, dengan harapan tidak ada kekurangan apalagi terjadi kesalahan yang besar pada pelaksanaan rangkaian ritual dari itu, warga adat menjalin komunikasi dengan setiap warganya begitupun dengan warga sekitar dan pendatang yang ikut tinggal di Kampung Adat. Dengan demikian, ritual tersebut menunjukkan simbol kebersamaan, 234 PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana Baktidan penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa Ngare, 2014.Peristiwa komunikasi dapat tergambar dari beberapa tahapan yang dimana sebenarnya rangkaian ritual Suraan mengedepankan pagelaran atau pertunjukan seni, dapat dilihat bahwa cara ngadu’a pun seperti berirama ini menandakan bahwa “kesenian” mendominasi rangkaian ritual, ditambah lagi setelah ritual sakral dilanjutkan oleh beberapa kesenian khas seperti karinding, jaipongan, angklung buncis, gondang, dan yang lainnya dikemas dengan apik sebagai sebuah kesatuan ritual yang merupakan hasil dari pengalaman berdasarkan perjalanan sejarah Kampung Adat Cireundeu sebelumnya, sehingga semua ritual yang dilakukan tersebut menjadi sebuah realitas yang harus dipahami oleh generasi setelahnya. Peristiwa adat tersebut telah menggambarkan suatu fenomena citra kehidupan masyarakat adat. Dimana citra positif dapat ditunjukan melalui penyikapan terhadap berbagai peristiwa sosial yang terjadi, seperti pada kegiatan adat Muchtar, 2016. Oleh karena itu, pemahaman pada realitas terbangun dalam serangkaian pengalaman, interaksi, dan konvensi komunikasi, sehingga melahirkan berbagai aspek penting dari kehidupan masyarakat Fajrini, Bakti, & Novianti, 2018.Peristiwa komunikasi dapat tergambar dari beberapa tahapan yang dimana sebenarnya rangkaian ritual Suraan mengedepankan pagelaran atau pertunjukan seni, dapat dilihat dari tabel bahwa cara ngadu’a pun seperti berirama ini menandakan bahwa “kesenian” mendominasi rangkaian ritual, ditambah lagi setelah ritual sakral dilanjutkan oleh beberapa kesenian khas seperti karinding, jaipongan, angklung buncis, gondang, dan yang lainnya dikemas dengan apik sebagai sebuah kesatuan ritual yang dimana ketika seseorang melakukan kegiatan kesenian, misalnya menyanyi dalam gondang, sesungguhnya orang tersebut telah melakukan tindakan sosial sebab menyanyi merupakan ekspresi diri yang diungkapkan menggunakan lambang atau simbol dalam bentuk suara dan ditujukan kepada orang lain, siapa pun orang lain yang menjadi sasarannya atau yang dituju. Namun demikian, hanya dirinya yang dapat memahami makna dari tindakan yang dilakukannya Kinseng, 2017. Namun demikian, tindakan sosial yang dilakukan para pelaku ritual Suraan tersebut baru bisa dipahami apabila para pelakunya mampu menjelaskan apa yang dilakukan dalam ritual tersebut, yaitu sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kalau kita berusaha menempatkan diri dalam dunia mereka. Jadi kita akan bisa memahami perilaku sesorang termasuk perilaku dengan benar manakala kita mampu berempati dan menempatkan kerangka pikir kita seperti apa yang ada dalam pikiran mereka Tauq, 2013. 235PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana BaktiSIMPULANLukisan tentang realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan penggunanya secara simbolik tergambarkan oleh bahasa. Oleh karena itu, bahasa, dapat memengaruhi penggunanya dalam berpikir, melihat lingkungan alam sekitar secara berbeda, sehingga berpengaruh pula pada perilakunya dengan cara berbeda simbol ritual Suraan mencerminkan perilaku komunikasi masyarakat Komunitas Kampung Adat Cireundeu yang memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan, simbol dan semua maknanya kembali pada ajaran kepercayaan dan spiritualnya, dimana dalam rangkaian acara ini merupakan sebuah wujud syukur mereka kepada Sang Khyang atas kehidupan yang komunikasi ritual, tujuan lainnya adalah untuk memelihara ketertiban terhadap dunia budaya yang penuh makna yang dapat menjadi alat kontrol dalam tindakan atau pergaulan antar sesama manusia. Perilaku yang tercermin dari rangkaian ritual Suraan ini menunjukan sikap proactive dimana merupakan cara komunikasi yang cukup unik, karena orang yang memiliki pola komunikasi ini akan membuat sebuah pilihan reaksi terhadap sebuah rangsangan. Hasil buah pemikiran ini akan berbeda-beda dalam situasi dan kondisi yang menurutnya akan menghasilkan reaksi yang Suraan yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang dilaksanakan setiap tahun merupakan tradisi warisan dari karuhun mereka. Dalam ritual Suraan, terdapat rangkaian ritual lainnya yang dilaksanakan secara terpisah, seperti ritual sungkeman yang merupakan ritual hari pertama Hari Raya 1 Sura sebagai pembuka, kemudian setelah dua sampai tiga minggu dilanjutkan dengan acara puncaknya yaitu ritual Damar Sewu selama tiga hari di panggung Bale. Setelah itu diakhiri dengan ritual Ngajayak yang dimulai dari jam dimulai dari Simpang tiga sampai Bale Saresehan. Sebagai penutup dari rangkaian ritual Suraan tersebut digelar pertunjukan wayang golek semalam suntuk. Perilaku komunikasi yang terlihat dari aktivitas komunikasi pada ritual Suraan ini termasuk pada perilaku terbuka, yang dimana masyarakat Kampung Adat Cireundeu merespons stimulus dalam hal ini rangkaian ritual dengan bentuk tindakan dan praktek practice, sehingga masyarakat akan melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu juga, masyarakat Kampung Adat Cireundeu menunjukan sikap proaktif yang dimana sikap ini nilai cukup baik karena orang yang memiliki pola komunikasi ini akan membuat sebuah pilihan reaksi terhadap sebuah rangsangan. 236 PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, hlm. 219-236Citra Kampung Adat Cireundeu pada Ritual Suraan Fauzan Ahdi Widyaputra, Evi Novianti, dan Iriana BaktiRitual Suraan yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu telah menunjukkan citranya sebagai kampung yang masih membangun, mempertahankan, dan memelihara kearifan lokal di tengah arus modernisasi. DAFTAR PUSTAKAAndung, P. A. 2010. Perspektif komunikasi ritual mengenai pemanfaatan natoni sebagagai media komunikasi tradisional dalam masyarakat adat boti dalam di kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu Komunikasi, 81, 1– G. A. W. M., Dewi, E. A. S, & Budiana, H. R. 2016. Makna kegiatan unilever future leaders league bagi para peserta. PRofesi Humas, 11, 1– R. G. & Soemanto, RB. 2018. Nilai sosial budaya dalam upacara adat tetaken. Journal of Development and Social Change, 11, 18– N., Bakti, I., & Novianti, E. 2018. City branding sawahlunto kota wisata tambang yang berbudaya melalui event sawahlunto International Songket Carnival Sisca 2016. Jurnal Profesi Humas, 22, 169– N. 2016. Model proses pewarisan nilai-nilai budaya lokal dalam tradisi masyarakat buton. Sosiohumaniora, 182, 108– 1994. Etnogra Komunikasi Sebuah Pendekatan Dalam Mengkaji Perilaku Masyarakat Tutur Perempuan Jawa. In Seminar Nasional Prasasti Pragmatik Sastra dan Linguistik pp. 38– R. A. 2017. Struktugensi sebuah teori tindakan. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 52, 1– Y. D. 2011. Komunikasi ritual pada budaya bertani atoni pah meto di timor-nusa tenggara timur. Jurnal Komunikasi, 13, 287– K. 2016. Komunikasi politik dan pembentukan citra partai. Jurnal Ilmu Komunikasi, 142, 136– F. 2014. Studi komunikasi budaya tentang upacara ritual congko lokap dan penti sebagai media komunikasi dalam pengembangan pariwisata daerah manggarai provinsi nusa tenggara timur. Jurnal Ilmu Komunikasi, 11, 40– A. 2013. Perilaku ritual warok ponorogo dalam perspektif teori. Jurnal Sosiologi Islam, 32, 113– M. E. 2015. Nilai-nilai dan makna simbolik tradisi nganggung. Sabda Jurnal Kajian Kebudayaan, 102, 1– I. 2015. Pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat cikondang. Jurnal Candrasangkala, 11, 1–22. Ahmad AliadinAcep Aripudin Iwan SopwandinAnwar ShadikinThe success of a missionary in delivering da'wah cannot be separated from the effective pattern he uses. Tabligh or Da'wah is a moral force that is able to drive social change and offers an alternative in building the future dynamics of the ummah, by taking the right, creative and wise ways and strategies. This paper aims to describe the pattern of da'wah in the Cireundeu Cimahi Traditional Village. This research uses descriptive analysis method with a qualitative approach. Data collection techniques used are observation, interviews, and documentation studies. The results of this study explain that Ustad Abdullah uses a traditionalist pattern, namely conveying Islamic messages or teachings from the yellow book. Using the method of delivery by word of mouth, by action, and equipped with writings from books, magazines or relevant leaflets obtained from outside. Cultural communication used is low context factors caused the development of da'wah in the Cirendeu village to be hampered, namely 1 Ingrained customs; 2 lack of creativity of missionaries; 3 limitations of missionaries; 4 The method of da'wah is monotonous; 5 The negative mindset of the followers adherents of Sunda Wiwitan towards Muslims; 6 there is no motivation of religious figures. Yermia Djefri ManafeThe ritual is one way of communicating. All forms of ritual is communicative. The ritual is always a symbolic behavior in social situations. Because of this ritual is always a way to communicate something. Communication rituals can be understood as meaning the message of a group of people against religious activity and belief system that was followed. The ritual is performed Atoni Pah Meto not independent of trust they hold, in the process always happen meaning of certain symbols that signify the process of ritual communication. This symbol has a meaning known only to those who perform the HindaryatiningsihPermasalahan penelitian ini, adalah a bagaimana bentuk sosialisasi nilai-nilai budaya lokal dalam tradisi masyarakat Buton?, b bagaimana proses pewarisan nilai-nilai budaya dalam tradisi masyarakat Buton dilakukan?, c bagaimana model proses pewarisan nilai-nilai budaya dalam tradisi masyarakat Buton?. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan di Kota Baubau Sulawesi Tenggara pada Tahun dikumpulkan melalui studi dokumen, observasi, wawancara mendalam, dan FGD. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis, yaitu reduksi data, display data, penyimpulan, dan verifikasi. Pengecekan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi dan diskusi dengan teman sejawat. Temuan penelitian menunjukkan a nilai-nilai budaya dalam tradisi masyarakat Buton masih terpelihara dan disosialisasikan dalam tiga bentuk tradisi lokal yakni nilai budaya dalam tradisi kepercayaan, ritual keagamaan Islam, dan tradisi siklus hidup manusia; b proses pewarisan nilai-nilai budaya pada tradisi masyarakat Buton berada dalam lingkungan IPO input, proses, output yang secara keseluruhan berada dalam lingkungan kebudayaan dalam struktur stratifikasi masyarakat Buton, c model proses pewarisan nilai budaya lokal dalam tradisi masyarakat Buton dilakukan dengan cara sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat berdasar mekanisme sibernetik dengan menggunakan pendekatan kepemimpinankarismatik masyarakat Buton Lebe. Simpulan penelitian ini, adalah melalui mekanisme sibernetik, lebe berperan sebagai kunci dan kontrol dalam pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat Buton. Pendekatan kepemimpinan karismatik yang dimiliki oleh lebe menjadi model pewarisan nilai-nilai budaya kepada masyarakat. Keluarga, pemerintah dan masyarakat sebagai pranata pendukung memiliki tanggung jawab dalam mensosialisasi dan mewariskan nilai-nilai budaya masyarakat Buton kepada generasi Komunikasi Sebuah Pendekatan Dalam Mengkaji Perilaku Masyarakat Tutur Perempuan JawaIswatiningsihIswatiningsih. 1994. Etnografi Komunikasi Sebuah Pendekatan Dalam Mengkaji Perilaku Masyarakat Tutur Perempuan Jawa. In Seminar Nasional Prasasti Pragmatik Sastra dan Linguistik pp. sebuah teori tindakanR A KinsengKinseng, R. A. 2017. Struktugensi sebuah teori tindakan. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 52, komunikasi ritual mengenai pemanfaatan natoni sebagagai media komunikasi tradisional dalam masyarakat adat boti dalam di kabupaten Timor Tengah SelatanP A AndungAndung, P. A. 2010. Perspektif komunikasi ritual mengenai pemanfaatan natoni sebagagai media komunikasi tradisional dalam masyarakat adat boti dalam di kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu Komunikasi, 81, 1-10.
PIJFyXU.
  • 02fjxevsnz.pages.dev/358
  • 02fjxevsnz.pages.dev/229
  • 02fjxevsnz.pages.dev/65
  • 02fjxevsnz.pages.dev/14
  • 02fjxevsnz.pages.dev/388
  • 02fjxevsnz.pages.dev/292
  • 02fjxevsnz.pages.dev/88
  • 02fjxevsnz.pages.dev/215
  • 02fjxevsnz.pages.dev/384
  • kampung adat cireundeu bahasa sunda